Pencarian

Jumat, 29 April 2011

Napak Tilas di Jalan Penderitaan

Napak Tilas di Jalan Penderitaan
undefinedVia Dolorosa adalah sebuah nama jalan di dalam kota lama Yerusalem. Ia bermula dari bekas Istana Pontius Pilatus dan berakhir di Gereja Makam Kudus yang disebut Golgota. Sebagaimana kita ketahui, kota ini terletak persis di tengah antara Israel dan Tepi Barat yang diklaim secara sepihak sebagai ibukota politik negara Israel pada tahun 1949. Kota itu terbagi dua: Yerusalem Barat yang menjadi wilayah Israel dengan penduduknya mayoritas Yahudi, dan Yerusalem Timur yang terus diperebutkan hingga kini dan dihuni oleh orang-orang Arab Palestina.

Kota lama yang penuh mozaik spiritual itu berada di wilayah Yerusalem Timur. Israel terus menerus berusaha baik secara politik maupun sosial melakukan ekspansi ke wilayah itu dengan strategi secara sosio-historis terbagi empat berdasarkan etnis dan komunitas mayoritas yang telah menghuni tempat itu ratusan tahun, yakni wilayah Yahudi, Arab (Muslim), Kristen, dan Armenian.

Via Dolorosa memang jalan yang padat dan supersibuk karena berada di dalam wilayah pasar orang-orang Arab Palestina yang mirip suasana Pasar Johar Semarang. Di sepanjang jalan terdapat toko-toko kelontong, buah-buahan dan barang kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi yang paling menonjol adalah toko barang-barang antik dan suvenir. Dapat dikatakan bahwa jalan itu sebenarnya merupakan gang sempit yang membelah pasar dan pertokoan wilayah Arab Palestina.

Peziarah yang melalui jalan itu harus berhati-hati karena jalanan yang lebarnya cuma tiga meter itu semakin dibuat sempit oleh aneka dagangan yang terkadang menjorok ke badan jalan, baik yang digelar di bawah maupun yang digantung di atas. Tetapi kehati-hatian itu terutama dalam menjaga barang-barang berharga kita karena sebagaimana umumnya kota wisata, di sana penuh pencopet.

Kali pertama berada di jalan tersebut, saya merasakan keanehan menyaksikan beberapa peziarah berlomba menyewa salib dan mencoba melakukan napak tilas menelusuri jalan salib mulai dari stasiun pertama hingga Golgota. Di sana ada persewaan salib yang besar untuk rombongan dan yang kecil untuk dipanggul sendiri.

Berbagai hal berkecamuk di dalam pikiran saya. Apakah harus mengikuti rombongan peziarah mancanegara atau tidak? Apakah akan ikut memikul salib atau memilih jalan kaki saja sendirian?. Dan saya berada di sana, tepat di tempat dulu Yesus berdiri menerima keputusan Pilatus. Saya membuka Alkitab dan mencoba mencari kebenarannya.

Ingatan saya terbawa ke peristiwa ribuan tahun silam. Tempat saya berdiri itu bekas Praetorium, markas besar tentara Romawi, persis di sebelah istana Pontius Pilatus, pemimpin para tentara itu. Ratusan orang berkerumun. Ada yang datang dari Amerika Selatan dan juga dari Asia. Seolah-olah ada yang menggerakkan mereka untuk berkumpul bersama di sebuah kapel kecil yang diyakini menjadi tempat Pilatus mengadili Yesus dan akhirnya mencuci tangannya melepaskan diri dari pengadilan kontroversial itu.

Saya mencoba membayangkan hal itu. Pasti banyak orang berjubah yang selama ini terlihat mengajar di Sinagoge (rumah ibadah orang Yahudi). Juga terlihat beberapa pelayan Tuhan di Bait Allah. Mereka ada di barisan depan. Tentara Romawi berdiri dengan garangnya mencoba mengatur massa yang makin banyak dan berteriak-teriak. Berdesak-desakan ke depan, tepat di lapangan tempat kami semua, para peziarah sedang berdiri.

Ya, ya di sana, saya seperti berpusar-pusar dari masa lalu bergantian dengan suasana sekarang.

Bersama-sama dengan para peziarah lain, kami akan memulai satu perjalanan iman, suatu napak tilas di jalan yang pernah dilalui Yesus menuju Golgota. Para peziarah yang berasal dari bangsa-bangsa yang berbeda itu begitu ekspresif, ikut memanggul salib, dan tidak memedulikan orang lain. Sebuah tontonan yang sangat menarik, dan saya ada di dalamnya, juga ikut memanggul salib secara bergantian. Dan di jalan yang dinamakan dengan istilah Latin Via Dolorosa alias Jalan Penderitaan itu, saya mencoba merasakan penderitaan yang pernah Yesus.

Perjalanan ziarah dengan cara menelusuri Via Dolorosa sudah dimulai sejak zaman kekristenan awal dan mencapai arti pentingnya pada pertengahan abad ke-4 sewaktu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Jutaan orang setiap tahun tumpah ruah ke Palestina untuk melakukan perjalanan ziarah. Berbagai rute tradisional pernah dirancang. Tetapi rute yang akhirnya memasyarakat sampai sekarang adalah rute yang dibuat oleh para peziarah di era Byzantium, yang kemudian di tetapkan secara resmi oleh ordo Fransiskan, dengan 14 buah stasiun perhentian (14 stations of the cross) di sepanjang jalannya.

Melalui rute itu, perjalanan dimulai di daerah Muslim (Moslem Quarter) dekat Gerbang Singa, tepat di bekas Istama Pontius Pilatus (kompleks garnisun romawi), dan berakhir di Gereja Holy Sepulchre (the Church of the Holy Sepulchre) atau dikenal dengan Gereja Makam Kudus yang terletak di dalam wilayah Kristen (Christian Quarter).

Perjalanan dari tempat persidangan Pilatus menuju Golgota, menurut catatan Injil, memuat sejumlah peristiwa penting, yang menjadi titik-titik penting dalam perjalanan salib. Contohnya adalah peristiwa jatuhnya Yesus, datangnya seorang perempuan yang mengelap wajah Yesus, peralihan salib kepada Simon dari Kirene, perjumpaan Yesus dengan ibu-Nya, yang kesemuanya dicatat sebanyak 14 peristiwa. Inilah yang kemudian dikenal dengan 14 stasiun jalan salib.

Di setiap tempat di mana peristiwa itu pernah terjadi, ada petunjuk berupa pelat besi yang diberi nomor dan ada beberapa yang berupa kapel kecil. Kita tinggal mengikuti peta yang bisa dibeli seharga satu dolar AS dan berhenti sesuai petunjuk untuk berdoa di setiap stasiun.

Menariknya, sekalipun itu adalah daerah Arab Palestina, ada toleransi yang sangat besar di sana. Ada beberapa stasiun yang terletak di tempat sempit di mana ketika terjadi desak-desakan antara peziarah dan penduduk Arab yang sedang belanja, mereka rela menunggu kita selesai berdoa bahkan memberi jalan. Bahkan ada sebuah stasiun yang persis berada di depan kantor sebuah Organisasi Muslim Palestina. Mereka sama sekali tidak terganggu dengan suasana ruhaniah para peziarah saat berhenti di stasiun tersebut.

Sayang sekali, tidak semua jalur itu bisa dilalui. Seiring dengan bongkar pasang di jalur padat hunian itu, ada beberapa stasiun yang tidak bisa dilalui lagi karena di atasnya sudah berdiri pemukiman. Demikian juga dengan pemilihan waktu ziarah, sangat dianjurkan untuk melakukan perjalanan di pagi hari, di saat pasar belum buka dan toko-toko belum menggelar barang dagangannya. Pada saat itu, keadaan jauh lebih tenang dan kita punya banyak waktu pribadi untuk beribadah.

Di ujung jalan yang sebetulnya tidak terlalu panjang itu, perjalanan berakhir di sebuah tempat yang dinamakan Holy Sepulchre Church atau Gereja Makam Kudus. Di sanalah secara diyakini Yesus mengakhiri perjalanannya: Golgotha.

Kekudusan Gereja Makam Kudus

Ujung Via Dolorosa adalah tempat yang disebut dengan Golgotha, sebuah bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Tempat itu saat ini sama sekali tidak lagi berbentuk bukit walau posisinya berada di ketinggian. Di sana ada gereja yang dibangun berabad-abad silam dan masih berdiri sampai sekarang. Menurut tradisi kristiani, gereja itu dibangun oleh Kaisar Konstantine sekitar tahun 325-335 Masehi untuk memperingati Kebangkitan Yesus.

Konstantine adalah kaisar Romawi yang menjadi pemeluk agama Kristen. Di tempat itu pulalah, Ratu Helena, ibunda sang kaisar, pernah datang berziarah, dan berperanan penting di dalam mendorong Konstantine mengambil keputusan untuk menyelamatkan tempat-tempat suci di Yerusalem dengan membangun gereja di atasnya. Konon, di tempat itu pulalah sang ratu menemukan potongan dari kayu Salib yang digunakan untuk menyalibkaan Yesus yang keberadaannya hingga kini tidak lagi diketahui.

Tetapi ada satu bagian dari gereja ini yang posisinya lebih tinggi dari lantai utama, yang merupakan puncak sebuah batu karang. Menurut tradisi kristiani, batu karang itu masih menyimpan lubang tempat salib ditancapkan. Untuk menggapai lubang itu, pihak gereja membangun sebuah altar di atasnya dan kita perlu berjongkok mengulurkan tangan ke dalam untuk menjamah batu karang itu. Agak lama saya memegang batu dalam lubang itu. Dan karena ini merupakan perjalanan keimanan, maka kekuatan spiritual itu hanya saya rasakan secara pribadi.

Gereja itu berada di wilayah Kristen dan menjadi salah satu bangunan yang paling disucikan di sana. Paling tidak ada tiga tempat penting di dalam gereja itu yakni, Golgota, altar batu tempat jenazah Yesus dibaringkan setelah diturunkan dari salib, dan makam kudus tempat Yesus dikuburkan.

Gereja itu lumayan besar. Masing-masing punya bagian sendiri tergantung peristiwa yang terjadi di dalamnya. Altar tempat lubang salib berada di tempat paling tinggi di sebelah kanan pintu masuk. Kita harus naik tangga yang agak curam untuk sampai di atas. Altar batu tempat meletakkan jenazah berada persis di depan pintu masuk. Banyak peziarah Katolik khusyuk berdoa di tempat itu.

Saat memasuki pintu gereja, aroma rempah-rempah yang muncul di atas altar batu tersebut, sudah tercium. Padahal di altar itu, hampir setiap peziarah menempatkan baju atau sapu tangan untuk menyerap aroma rempah-rempah kuno yang dulu digunakan untuk memoles jenazah Yesus.

Entah kenapa, bau batu itu tidak pernah berkurang. Di sebelah kiri pintu masuk, pada bagian belakang gereja, terdapat satu kompleks altar berbentuk cungkup batu yang punya pintu sempit dan kecil. Kita harus menunduk untuk memasuki ruangan gua sempit yang hanya dapat menampung maksimal enam orang.

Tidak dapat berlama-lama di sana karena seorang biarawan Katolik siap menegur dengan keras jika melewati batas waktu demi memberi giliran pada yang lain. Itu adalah kuburan yang diyakini menjadi tempat meletakkan jenazah Yesus ribuah tahun silam, sekaligus tempat Dia mengalami kebangkitan. Tempat itu sangat dijaga kekudusannya. Peziarah atau wisatawan yang masuk ke dalam gedung gereja harus memakai pakaian yang menutup semua bagian badannya. Wanita dengan rok mini atau memakai baju dengan anggota badan yang terbuka akan diusir keluar.

Basilika Konstantine pernah terbakar sewaktu tanah suci dikuasai oleh Persia pada tahun 614 Masehi tetapi pada tahun 630, kembali di bangun oleh Kaisar Heraklius. Pada waktu tempat itu jatuh ke tangan kaum Muslim, gereja ini tetap dipertahankan bentuknya dan diakui sebagai sarana ibadah Kristiani. Berkali-kali, seiring dengan berubahnya penguasa Yerusalem, penguasaan terhadap gereja itu berpindah tempat. Juga berkali-kali dihancurkan dan dibangun kembali.

Dalam bentuknya yang sekarang, gereja itu adalah hasil renovasi dengan bangunan permanen yang sangat megah dan memberi ruang bagi wisatawan yang melakukan ibadah. Di sana terdapat pemuka Katolik yang memimpin ibadah setiap hari dan kita dapat mengikutinya. Untunglah pada waktu saya ke sana, ibadah sudah selesai sehingga dapat memasuki tempat-tempat itu dengan leluasa. Sungguh sebuah perjalanan spiritual yang tiada tara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar